REFORMASI BIROKRASI
A.
Birokrasi
dan Permasalahannya
Sebelum
memulai pembahasan mengenai reformasi birokasi, terlebih dahulu kita harus
memahami apa itu birokrasi. Salah satu dari sepuluh pola untuk memahami
birokrasi menurut Jan-Erik Lane dalam tulisannya yang berjudul “ Introduction: The Concept of Bureaucracy”
dalam Bureaucracy and Public Choice (1987:1-31)
adalah professional administration (administrasi
professional). Administrasi profesional merupakan pendekatan sosiologis yang
memandang birokrasi sebagai sebuah bagian dari tipe organisasi. Referensi
utamanya adalah tipe ideal birokrasi Max Weber yang memuat sejumlah unsur
berikut:
·
Pembagian divisi pegawai yang terdefinisi
secara jelas
·
Struktur otoritas impersonal
·
Memiliki jenjang hirarki
·
Bergantung pada aturan formal
·
Menggunakan sistem merit pada pegawai
·
Ketersediaan karir
·
Pemisahan jarak antara kehidupan sebagai
anggota organisasi dan kehidupan pribadi.
Selain
pendekatan administrasi profesional, kita juga dapat memahami birokrasi melalui
pendekatan minimalis yang diperkenalkan oleh Brown dalam tulisannya Bureaucracy as an Issue in Thrid World
Management: an African Case Study dalam Public
Administration andf Development volume 9 (1989:65-80). Brown menyusun
definisi birokrasi dengan mendasarkan asumsinya terhadap (bagaimana) birokrasi
seharusnya bekerja pada (bagaimana) secara aktual mereka bekerja. Definisi yang
kemudian dihasilkan dari pendekatan tersebut menyatakan bahwa birokrasi adalah
sistem stratifikikasi hirarki pegawai dimana orang dipekerjakan untuk upah dan
gaji.
Sedangkan
tujuan penyediaan birokrasi pemerintahan sebagaimana diuraikan oleh Ripley dan
Franklin (1982) adalah sebagai berikut:
·
Menyediakan sejumlah layanan sebagai
hakikat dari tanggung jawab pemerintah
·
Memajukan kepentingan sektor ekonomi
spesifik seperti pertanian, buruh atau segmen tertentu dari bisnis privat
·
Membuat regulasi atau berbagai aktivitas
privat
·
Meredistribusikan sejumlah keuntungan
seperti pendapatan, hak-hak, perawatan medis, dll.
Namun,
secara faktual, birokrasi menghadapi sejumlah masalah yang kerap kali menjadi
rintangan dalam pencapaian tujuan, diantaranya:
·
Proses pekerjaannya seringkali tidak
dapat diperkirakan dan langkah yang diambil oleh Birokrasi juga terkesan lamban
·
Menunjukkan favorisitisme dalam
perlakukannya terhadap klien tertentu dan diskriminasi pada yang lain
·
Mempekerjakan staff yang menunjukkan
ketertarikan yang rendah terhadap standar profesional dan kualitas pelayanan
program
·
Menciptakan timbunan kertas yang tidak
berguna dan tidak mampu menyesuaikan diri secara relevan dengan perkembangan
sosial
Selain
masalah-masalah yang dikemukakan tersebut, masalah lainnya yang dihadapi oleh
Birokrasi khususnya birokrasi di Negara dunia ketiga seperti di Indonesia
adalah berkaitan dengan profesionalitas birokrasi. Mark Turner dan David Hulne
dengan bukunya Governance,
Administration, and Development (1997) menyatakan bahwa kemunculan
permasalahan terhadap tingkatas profesionalitas birokrasi pada Negara dunia
ketiga merupakan implikasi dari kolonialisme. Kolonialisme membangun paradigma
birokrasi yang berorientasi pada pengawasan dan pengendalian masyarakat.
Birokrasi
di Indonesia tak ubahnya seperti birokrasi-birokrasi pemerintah lain pada
umumnya dimana mereka harus menghadapi keragu-raguan dari masyarakat.
Alasannya, selain birokrasi masih dilingkupi dengan sejumlah masalah
sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, birokrasi juga diyakini lemah dalam
mengurus sejumlah kebutuhan publik yang ruang lingkupnya luas. Cara mengatasi
permasalahan birokrasi di Indonesia yaitu kita perlu melihat track record reformasi birokrasi yang
telah dilaksankan di Indonesia.
B.
Perjalanan
Reformasi Birokrasi Indonesia dari Waktu ke Waktu
Reformasi
birokrasi pertama kali dilaksanakan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
pada era pemerintahan Soekarno tepatnya pada tahun 1962 yaitu dengan
dibentuknya Panitia Retooling Aparatur Negara. Panitia Retooling Aparatur
Negara dibebani tugas untuk mengoptimalisasikan fungsi birokrasi dalam
penyediaan pelayanan publik. Upaya tersebut menjadi kandas sebab intervensi
politik pada saat itu terlalu mengkooptasi dalam birokrasi sehingga terjadi
ketampakkan bias peran birokrasi yang mengemuka.
Selanjutnya
pada era pemerintahan Soeharto tepatnya tahun 1966 melalui Keputusan Presidium
Kabinet Ampera nomor tujuh puluh lima, dibentuk Tim Penertiban Aparatur dan
Administrasi Pemerintahan atau yang dikenal dengan sebutan Tim PAAP.
Dilanjutkan kemudian pada tahun 1974 melalui Kabinet Pembangunan I dengan dibentuknya Kementrian Penyempurnaan dan
Pembersihan Aparatur Negara (Menpan) yang membidangi secara khusus pembenahan
administrasi dan birokrasi di Indonesia.
Semasa
orde baru, birokrasi di Indonesia berafiliasi dengan parati Golkar (Partai
Mayoritas Tunggal di DPR) dan ditambah dengan militer. Sebagaian kalangan
menyebutnya dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar). Bisa dibayangkan
bagaimana Golkar dengan instrumen politik yang mapan saling bahu-membahu dengan
Birokrasi yang menjadi gudang informasi sosial yang kemudian mendapat dukunagn
dari kekuatan militer. Birokrasi memang luar biasa kuat pada saat Orde Baru,
hampir bisa dikatakan 80% mereka mengandalkan aktivitas masyarakat.
Namun,
kondisi antiklimaks kemudian muncul. Pada tahun 1977-an nilai tukar rupiah
anjlok terhadap dolar. Situasi perekonomian yang selama ini menjadi pilar
kekuatan orde baru menjadi tidak menentu arahnya. Hal inilah yang kemudian
berakumulasi menjadi kekecewaan masyarakat khusunya kelompok mahasiswa kepada
pemerintahan Soeharto. Oleh karenanya, pada tahun 1988, Reformasi terjadi di
Indonesia yang ditandai dengan lengsenya Soeharto yang telah menjabat sebagai
Presiden selama 32 tahun. Semenjak itu pula Bangsa Indonesia memasuki sebuah
orde yang baru yaitu orde Reformasi.
Namun,
dalam kabinet-kabinet berikutnya seperti Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet
Gotong Royong dan Kabinet Indonesia Bersatu upaya reformasi birokrasi belum
juga menemui paripurna harapan publik. Berbagai kendala bermunculan muali dari
hal-hal yang bersifat politis hingga pada hal-hal yang bersifat praktikal. Dan
gelombang permasalahan tersebut menghantarkan kita hingga ke detik ini, tanpa
eksistensi konstruksi solusi yang fundamental terhadap konstalasi permasalahn
birokrasi di Indonesia.
C.
Redefinisi
Reformasi Birokrasi
Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
Reformasi Birokrasi dimaknai sebagai penataan ulang terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintah yang dijalankan aparatur pemerintah baik pada level
pemerintahan lokal maupun nasional. Pendekatan reformasi birokrasi berdasarkan
amandemen UUD 1945 merupakan pendekatan sistemik yang secara konseptual lebih mengutamakan
komprehensi dibandingkan eksistensi. Beberapa rekomendasi berikut ini dapat
dijadikan bahan acuan untuk melakukan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
Aspek
pertama yang perlu diperhitungkan
dalam melakukan reformasi birokrasi adalah berkaitan dengan paradigma
teoritikal kajian birokrasi yang lebih condong pada structural efeciency. Aspek kedua
yang perlu diperhatikan adalah efek paska Pilkada dan Pilpres. Aspek ketiga adalah komitmen politik yang
berlaku sama bagi siapa saja yang hendak terjun dalam rencana politik. Aspek keempat adalah perubahan kerangka pikir
birokrat yang masih mewarisi nilai-nilai feodalisme dimana para birokrat masih
berpikir bahwa tugas mereka adalah untuk mengendalikan dan mengawasi prilaku
publik.
Selain
itu pula, diuraikan bahwa terdapat sepuluh hal yang perlu direvisi pada
pemerintahan dimasa mendatang, diantaranya sebagai berikut:
·
Steering
rather than rowing (mengarahkan dibandingkan melayani).
Hal ini berkaitan dengan cara kerja pemerintah yang terlalu mendominasi penyelenggaraan
pelayanan publik. Oleh karenanya, dominasi tersebut perlu direduksi (kurangi)
secara gradual (bertahap) untuk selanjunya diserahkan pada civil society.
·
Empowering
rather than serving (memberdayakan daripada melayani).
Artinya, pemerintah dituntut untuk melakukan pemberdayaan atau penguatan agar
potensi masyarakat dapat tumbuh dan berkembang bukan hanya dilayani terus atau
di(cekok)i.
·
Injecting
competition into service delivery (menginfiltrasikan
nuansa kompetisi dalam penyediaan layanan). Hal ini dimaksudkan agar institusi
pemerintah lebih memperhatikan pada kualitas penyediaan layanan yang disediakan
bukan sekedar kuantitasnya saja. Sehingga tercipta suasana yang kondusif dan
terlepas dari warna korupsi dan nepotisme.
·
Transforming
rule-driven organization (mentransformasikan aturan menjadi
organisasi yang terdorong oleh misi). Artinya, organisasi pemerintah diharapkan
memiliki inisiatif dan tidak kaku dengan aturan.
·
Funding
Outcome not Input (perubahan orientasi dari masukan
menuju hasil). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah berupaya secara
baik untuk memaksimalkan input baik berupa anggaran maupun sumber daya lainnya
menjadi hasil yang optimal.
·
Meeting
the Needs of Customer not the bureaucracy (memenuhi
kebutuhan pengguna layanan bukan birokrasi). Artinya, yang diutamakan dalam
pelayanan adalah pemenuhan kebutuhan pelanggan. Birokrasi sebaiknya tidak
memaksakan agar kepentingannya turut pula diakomodir dalam pelayanan tersebut.
·
Earing
than spending (mencari daripada mengeluarkan). Hal ini
dimaksudkan agar organisasi pemerintahan lebih mengupayakan mengakumulasi
sumber daya daripada terus menerus menggunakannya. Bahkan dituntut lebih jauh
lagi yakni kemampuan birokrasi untuk melakukan investasi dengan sumberdaya yang
dimilikinya.
·
Prevention
rather than than care (mencegah daripada mengobati).
Artinya, birokrasi diharapkan mengupayakan berbagai upaya-upaya prevensi agar
tidak terjadi dampak yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, setiap aktivitas
birokrasi harus memiliki kalkulasi yang baik terhadap kebijakan yang akan
ditempuhnya. Sehingga birokrasi menghindarkan diri dari masalah bukan melakukan
pemecahan masalah.
·
From
Hierarchy to participation and team work (dari hirarki berubah
menjadi partisipatif dan kerja sama dalam tim). Artinya membangun pemerintahan
yang terdesentralisasi. Dengan demikian, maka akan terbangun birokrasi yang
lebih terbuka terhadap partisipasi bawahaan dan mampu untuk saling bekerjasama
bukan sebaliknya memelihara senioritas dan hirarki.
·
Leveraging
change trough the market ( mendongkrak perubahan melalui
pasar). Hal ini dimaksudkan agar pemerintah lebih berorientasi pada pasar untuk
melakukan berbagai perubahan sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan masyarakat.
D.
Pengaruh
Political Will Pemerintah Terhadap
Reformasi Birokrasi
Political Will
pemerintah yang berkuasa dapat juga dijadikan tolak ukur untuk meninjau tingkat
keseriusan dalam menjalankan reformasi birokrasi. Sejauh ini, berbagai kampanye
calon presiden maupun kepala daerah di Indonesia lebih menonjolkan sisi
pembenahan ekonomi melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat sedangkan
reformasi birokrasi sama sekali tidak pernah dibicarakan dalam kampanye
politik mereka. Tidak ada satupun dari
para kandidat yang menjanjikan reformasi administrasi, pembenahan budaya
birokrasi atau simplifikasi procedural saat mengurus berbagai perizinan. Oleh karenanya, tidak ada komitmen yang tegas
terhadap pembenahan pemerintahan dari dalam. Hal ini merefleksikan bahwa
masalah fundamental dalam tubuh bangsa Indonesia sebenarnya berada di
lingkungan birokrasi pemerintahan.
E.
Dikotomi
Politik-Administrasi
Muara
reformasi birokrasi dalam konteks awalnya adalah optimalisasi penjaringan
infilitrasi kepentingan politik dalam ranah adminstrasi dimana ranah
administrasi merupakan lahan bagi birokrasi melakukan tugas utamanya yakni
mengiplementasikan kebijakan. Artinya, proses politik cukup terjadi pada saat
perumusan kebijakan hingga kebijakan tersebut disepakati. Setelah itu, biarkan
Administrasi melalui instrumen birokrasinya menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
F.
Reformasi
Birokrasi Melalui Revitalisasi Konsep Publik
Federickson
menyatakan bahwa secara faktual proses politik dan administrasi sulit untuk
dipisahkan. Oleh karenanya, titik kajian yang perlu dikembangkan tidak lagi
berfokus pada dikotomi politik dan administrasi, melainkan bagaimana mengkreasi
administrasi yang profesional yakni kemampuan birokrasi untuk tampil prima
dalam memberikan pelayanan. Untuk menjawab tantangan tersebut, maka kita dapat
menggunakan pendekatan revitalitas konsep publik yang ditawarkan oleh
Federickson.
Sumber :
Wicaksono,
Kristian Widya. 2006. Administrasi dan
Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
mantap artikelnya.
BalasHapuswww.kiostiket.com