Rabu, 06 Juni 2012

Reformasi Birokrasi


REFORMASI BIROKRASI
A.    Birokrasi dan Permasalahannya
Sebelum memulai pembahasan mengenai reformasi birokasi, terlebih dahulu kita harus memahami apa itu birokrasi. Salah satu dari sepuluh pola untuk memahami birokrasi menurut Jan-Erik Lane dalam tulisannya yang berjudul “ Introduction: The Concept of Bureaucracy” dalam Bureaucracy and Public Choice (1987:1-31) adalah professional administration (administrasi professional). Administrasi profesional merupakan pendekatan sosiologis yang memandang birokrasi sebagai sebuah bagian dari tipe organisasi. Referensi utamanya adalah tipe ideal birokrasi Max Weber yang memuat sejumlah unsur berikut:
·         Pembagian divisi pegawai yang terdefinisi secara jelas
·         Struktur otoritas impersonal
·         Memiliki jenjang hirarki
·         Bergantung pada aturan formal
·         Menggunakan sistem merit pada pegawai
·         Ketersediaan karir
·         Pemisahan jarak antara kehidupan sebagai anggota organisasi dan kehidupan pribadi.
Selain pendekatan administrasi profesional, kita juga dapat memahami birokrasi melalui pendekatan minimalis yang diperkenalkan oleh Brown dalam tulisannya Bureaucracy as an Issue in Thrid World Management: an African Case Study dalam Public Administration andf Development volume 9 (1989:65-80). Brown menyusun definisi birokrasi dengan mendasarkan asumsinya terhadap (bagaimana) birokrasi seharusnya bekerja pada (bagaimana) secara aktual mereka bekerja. Definisi yang kemudian dihasilkan dari pendekatan tersebut menyatakan bahwa birokrasi adalah sistem stratifikikasi hirarki pegawai dimana orang dipekerjakan untuk upah dan gaji.
Sedangkan tujuan penyediaan birokrasi pemerintahan sebagaimana diuraikan oleh Ripley dan Franklin (1982) adalah sebagai berikut:
·         Menyediakan sejumlah layanan sebagai hakikat dari tanggung jawab pemerintah
·         Memajukan kepentingan sektor ekonomi spesifik seperti pertanian, buruh atau segmen tertentu dari bisnis privat
·         Membuat regulasi atau berbagai aktivitas privat
·         Meredistribusikan sejumlah keuntungan seperti pendapatan, hak-hak, perawatan medis, dll.
Namun, secara faktual, birokrasi menghadapi sejumlah masalah yang kerap kali menjadi rintangan dalam pencapaian tujuan, diantaranya:
·         Proses pekerjaannya seringkali tidak dapat diperkirakan dan langkah yang diambil oleh Birokrasi juga terkesan lamban
·         Menunjukkan favorisitisme dalam perlakukannya terhadap klien tertentu dan diskriminasi pada yang lain
·         Mempekerjakan staff yang menunjukkan ketertarikan yang rendah terhadap standar profesional dan kualitas pelayanan program
·         Menciptakan timbunan kertas yang tidak berguna dan tidak mampu menyesuaikan diri secara relevan dengan perkembangan sosial
Selain masalah-masalah yang dikemukakan tersebut, masalah lainnya yang dihadapi oleh Birokrasi khususnya birokrasi di Negara dunia ketiga seperti di Indonesia adalah berkaitan dengan profesionalitas birokrasi. Mark Turner dan David Hulne dengan bukunya Governance, Administration, and Development (1997) menyatakan bahwa kemunculan permasalahan terhadap tingkatas profesionalitas birokrasi pada Negara dunia ketiga merupakan implikasi dari kolonialisme. Kolonialisme membangun paradigma birokrasi yang berorientasi pada pengawasan dan pengendalian masyarakat.
Birokrasi di Indonesia tak ubahnya seperti birokrasi-birokrasi pemerintah lain pada umumnya dimana mereka harus menghadapi keragu-raguan dari masyarakat. Alasannya, selain birokrasi masih dilingkupi dengan sejumlah masalah sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, birokrasi juga diyakini lemah dalam mengurus sejumlah kebutuhan publik yang ruang lingkupnya luas. Cara mengatasi permasalahan birokrasi di Indonesia yaitu kita perlu melihat track record reformasi birokrasi yang telah dilaksankan di Indonesia.
B.     Perjalanan Reformasi Birokrasi Indonesia dari Waktu ke Waktu
Reformasi birokrasi pertama kali dilaksanakan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pada era pemerintahan Soekarno tepatnya pada tahun 1962 yaitu dengan dibentuknya Panitia Retooling Aparatur Negara. Panitia Retooling Aparatur Negara dibebani tugas untuk mengoptimalisasikan fungsi birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik. Upaya tersebut menjadi kandas sebab intervensi politik pada saat itu terlalu mengkooptasi dalam birokrasi sehingga terjadi ketampakkan bias peran birokrasi yang mengemuka.
Selanjutnya pada era pemerintahan Soeharto tepatnya tahun 1966 melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera nomor tujuh puluh lima, dibentuk Tim Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintahan atau yang dikenal dengan sebutan Tim PAAP. Dilanjutkan kemudian pada tahun 1974 melalui Kabinet Pembangunan I dengan  dibentuknya Kementrian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (Menpan) yang membidangi secara khusus pembenahan administrasi dan birokrasi di Indonesia.
Semasa orde baru, birokrasi di Indonesia berafiliasi dengan parati Golkar (Partai Mayoritas Tunggal di DPR) dan ditambah dengan militer. Sebagaian kalangan menyebutnya dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar). Bisa dibayangkan bagaimana Golkar dengan instrumen politik yang mapan saling bahu-membahu dengan Birokrasi yang menjadi gudang informasi sosial yang kemudian mendapat dukunagn dari kekuatan militer. Birokrasi memang luar biasa kuat pada saat Orde Baru, hampir bisa dikatakan 80% mereka mengandalkan aktivitas masyarakat.
Namun, kondisi antiklimaks kemudian muncul. Pada tahun 1977-an nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar. Situasi perekonomian yang selama ini menjadi pilar kekuatan orde baru menjadi tidak menentu arahnya. Hal inilah yang kemudian berakumulasi menjadi kekecewaan masyarakat khusunya kelompok mahasiswa kepada pemerintahan Soeharto. Oleh karenanya, pada tahun 1988, Reformasi terjadi di Indonesia yang ditandai dengan lengsenya Soeharto yang telah menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun. Semenjak itu pula Bangsa Indonesia memasuki sebuah orde yang baru yaitu orde Reformasi.
Namun, dalam kabinet-kabinet berikutnya seperti Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong dan Kabinet Indonesia Bersatu upaya reformasi birokrasi belum juga menemui paripurna harapan publik. Berbagai kendala bermunculan muali dari hal-hal yang bersifat politis hingga pada hal-hal yang bersifat praktikal. Dan gelombang permasalahan tersebut menghantarkan kita hingga ke detik ini, tanpa eksistensi konstruksi solusi yang fundamental terhadap konstalasi permasalahn birokrasi di Indonesia.
C.    Redefinisi Reformasi Birokrasi
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Reformasi Birokrasi dimaknai sebagai penataan ulang terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah yang dijalankan aparatur pemerintah baik pada level pemerintahan lokal maupun nasional. Pendekatan reformasi birokrasi berdasarkan amandemen UUD 1945 merupakan pendekatan sistemik yang secara konseptual lebih mengutamakan komprehensi dibandingkan eksistensi. Beberapa rekomendasi berikut ini dapat dijadikan bahan acuan untuk melakukan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
Aspek pertama yang perlu diperhitungkan dalam melakukan reformasi birokrasi adalah berkaitan dengan paradigma teoritikal kajian birokrasi yang lebih condong pada structural efeciency. Aspek kedua yang perlu diperhatikan adalah efek paska Pilkada dan Pilpres. Aspek ketiga adalah komitmen politik yang berlaku sama bagi siapa saja yang hendak terjun dalam rencana politik. Aspek keempat adalah perubahan kerangka pikir birokrat yang masih mewarisi nilai-nilai feodalisme dimana para birokrat masih berpikir bahwa tugas mereka adalah untuk mengendalikan dan mengawasi prilaku publik.
Selain itu pula, diuraikan bahwa terdapat sepuluh hal yang perlu direvisi pada pemerintahan dimasa mendatang, diantaranya sebagai berikut:
·         Steering rather than rowing (mengarahkan dibandingkan melayani). Hal ini berkaitan dengan cara kerja pemerintah yang terlalu mendominasi penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karenanya, dominasi tersebut perlu direduksi (kurangi) secara gradual (bertahap) untuk selanjunya diserahkan pada civil society.
·         Empowering rather than serving (memberdayakan daripada melayani). Artinya, pemerintah dituntut untuk melakukan pemberdayaan atau penguatan agar potensi masyarakat dapat tumbuh dan berkembang bukan hanya dilayani terus atau di(cekok)i.
·         Injecting competition into service delivery (menginfiltrasikan nuansa kompetisi dalam penyediaan layanan). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah lebih memperhatikan pada kualitas penyediaan layanan yang disediakan bukan sekedar kuantitasnya saja. Sehingga tercipta suasana yang kondusif dan terlepas dari warna korupsi dan nepotisme.
·         Transforming rule-driven organization (mentransformasikan aturan menjadi organisasi yang terdorong oleh misi). Artinya, organisasi pemerintah diharapkan memiliki inisiatif dan tidak kaku dengan aturan.
·         Funding Outcome not Input (perubahan orientasi dari masukan menuju hasil). Hal ini dimaksudkan agar institusi pemerintah berupaya secara baik untuk memaksimalkan input baik berupa anggaran maupun sumber daya lainnya menjadi hasil yang optimal.
·         Meeting the Needs of Customer not the bureaucracy (memenuhi kebutuhan pengguna layanan bukan birokrasi). Artinya, yang diutamakan dalam pelayanan adalah pemenuhan kebutuhan pelanggan. Birokrasi sebaiknya tidak memaksakan agar kepentingannya turut pula diakomodir dalam pelayanan tersebut.
·         Earing than spending (mencari daripada mengeluarkan). Hal ini dimaksudkan agar organisasi pemerintahan lebih mengupayakan mengakumulasi sumber daya daripada terus menerus menggunakannya. Bahkan dituntut lebih jauh lagi yakni kemampuan birokrasi untuk melakukan investasi dengan sumberdaya yang dimilikinya.
·         Prevention rather than than care (mencegah daripada mengobati). Artinya, birokrasi diharapkan mengupayakan berbagai upaya-upaya prevensi agar tidak terjadi dampak yang tidak diharapkan. Oleh karenanya, setiap aktivitas birokrasi harus memiliki kalkulasi yang baik terhadap kebijakan yang akan ditempuhnya. Sehingga birokrasi menghindarkan diri dari masalah bukan melakukan pemecahan masalah.
·         From Hierarchy to participation and team work (dari hirarki berubah menjadi partisipatif dan kerja sama dalam tim). Artinya membangun pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan demikian, maka akan terbangun birokrasi yang lebih terbuka terhadap partisipasi bawahaan dan mampu untuk saling bekerjasama bukan sebaliknya memelihara senioritas dan hirarki.
·         Leveraging change trough the market ( mendongkrak perubahan melalui pasar). Hal ini dimaksudkan agar pemerintah lebih berorientasi pada pasar untuk melakukan berbagai perubahan sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat.

D.    Pengaruh Political Will Pemerintah Terhadap Reformasi Birokrasi
Political Will pemerintah yang berkuasa dapat juga dijadikan tolak ukur untuk meninjau tingkat keseriusan dalam menjalankan reformasi birokrasi. Sejauh ini, berbagai kampanye calon presiden maupun kepala daerah di Indonesia lebih menonjolkan sisi pembenahan ekonomi melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat sedangkan reformasi birokrasi sama sekali tidak pernah dibicarakan dalam kampanye politik  mereka. Tidak ada satupun dari para kandidat yang menjanjikan reformasi administrasi, pembenahan budaya birokrasi atau simplifikasi procedural saat mengurus berbagai perizinan.  Oleh karenanya, tidak ada komitmen yang tegas terhadap pembenahan pemerintahan dari dalam. Hal ini merefleksikan bahwa masalah fundamental dalam tubuh bangsa Indonesia sebenarnya berada di lingkungan birokrasi pemerintahan.
E.     Dikotomi Politik-Administrasi
Muara reformasi birokrasi dalam konteks awalnya adalah optimalisasi penjaringan infilitrasi kepentingan politik dalam ranah adminstrasi dimana ranah administrasi merupakan lahan bagi birokrasi melakukan tugas utamanya yakni mengiplementasikan kebijakan. Artinya, proses politik cukup terjadi pada saat perumusan kebijakan hingga kebijakan tersebut disepakati. Setelah itu, biarkan Administrasi melalui instrumen birokrasinya menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
F.     Reformasi Birokrasi Melalui Revitalisasi Konsep Publik
Federickson menyatakan bahwa secara faktual proses politik dan administrasi sulit untuk dipisahkan. Oleh karenanya, titik kajian yang perlu dikembangkan tidak lagi berfokus pada dikotomi politik dan administrasi, melainkan bagaimana mengkreasi administrasi yang profesional yakni kemampuan birokrasi untuk tampil prima dalam memberikan pelayanan. Untuk menjawab tantangan tersebut, maka kita dapat menggunakan pendekatan revitalitas konsep publik yang ditawarkan oleh Federickson.
Sumber :
Wicaksono, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

1 komentar: